Kamis, 22 November 2012
Hari Asyura merupakan hari kesepuluh Muharram dan kaum Muslimin disunahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berpuasa.
Ceritanya, pada permulaan hijrah ke Madinah Rasulullah SAW melihat kaum Yahudi melaksanakan puasa tanggal 10 Muharram. Rasulullah SAW bertanya, "Puasa apa ini?"
Para sahabat menjawab, "Ini adalah puasanya Nabi Shaleh AS, juga puasa pada hari di mana Allah SWT menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka sehingga Nabi Musa berpuasa."
Rasulullah SAW bersabda, "Aku lebih berhak atas Musa daripada mereka (kaum Yahudi), sehingga Rasulullah SAW berpuasa dan menyuruh (kaum Muslimin) berpuasa." (HR. Bukhari).
Menurut sebagian riwayat, beberapa peristiwa istimewa pada hari Asyura antara lain: diselamatkannya Nabi Nuh AS beserta kaumnya dari banjir bandang yang terjadi pada zamannya dan diselamatkannya Nabi Yunus AS dari perut ikan paus yang memangsanya.
Rasulullah SAW sendiri telah melaksanakan puasa Asyura bersama kaum Muslimin di Makkah sebelum datangnya kewajiban puasa Ramadhan.
Namun, setelah Allah SWT mewajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah SWT. Barangsiapa yang berkehendak maka ia dapat melakukan puasa atau meninggalkannya (tidak melakukannya)." (HR. Muslim).
Selain kaum Yahudi, kaum jahiliyah di Makkah juga memiliki tradisi puasa Asyura, sehingga puasa Asyura cukup masyhur bagi mereka.
Syariat puasa Asyura kendati boleh dilakukan secara mandiri hanya satu hari tanggal 10 Muharram, namun Jumhur Ulama berpandangan mengenai kesempurnaan puasa tersebut bila digabung dengan puasa Tasu'a (tanggal 9 Muharram).
Hal tersebut karena pada saat Rasulullah bersama sahabat berpuasa Asyura, sebagian sahabat menyatakan hari itu adalah hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani, Rasulullah SAW bersabda, "Insya Allah, pada tahun mendatang kita akan berpuasa yang dimulai dari hari kesembilan Muharram (Tasu'a)."
Namun, sebelum bulan Muharram tahun depan tiba Rasulullah SAW telah wafat, sehingga menurut para ulama, hikmah disunahkannya puasa Tasu'a dengan Asyura adalah untuk membedakan puasa kaum Muslimin dan Kaum Yahudi.
Ceritanya, pada permulaan hijrah ke Madinah Rasulullah SAW melihat kaum Yahudi melaksanakan puasa tanggal 10 Muharram. Rasulullah SAW bertanya, "Puasa apa ini?"
Para sahabat menjawab, "Ini adalah puasanya Nabi Shaleh AS, juga puasa pada hari di mana Allah SWT menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka sehingga Nabi Musa berpuasa."
Rasulullah SAW bersabda, "Aku lebih berhak atas Musa daripada mereka (kaum Yahudi), sehingga Rasulullah SAW berpuasa dan menyuruh (kaum Muslimin) berpuasa." (HR. Bukhari).
Menurut sebagian riwayat, beberapa peristiwa istimewa pada hari Asyura antara lain: diselamatkannya Nabi Nuh AS beserta kaumnya dari banjir bandang yang terjadi pada zamannya dan diselamatkannya Nabi Yunus AS dari perut ikan paus yang memangsanya.
Rasulullah SAW sendiri telah melaksanakan puasa Asyura bersama kaum Muslimin di Makkah sebelum datangnya kewajiban puasa Ramadhan.
Namun, setelah Allah SWT mewajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah SWT. Barangsiapa yang berkehendak maka ia dapat melakukan puasa atau meninggalkannya (tidak melakukannya)." (HR. Muslim).
Selain kaum Yahudi, kaum jahiliyah di Makkah juga memiliki tradisi puasa Asyura, sehingga puasa Asyura cukup masyhur bagi mereka.
Syariat puasa Asyura kendati boleh dilakukan secara mandiri hanya satu hari tanggal 10 Muharram, namun Jumhur Ulama berpandangan mengenai kesempurnaan puasa tersebut bila digabung dengan puasa Tasu'a (tanggal 9 Muharram).
Hal tersebut karena pada saat Rasulullah bersama sahabat berpuasa Asyura, sebagian sahabat menyatakan hari itu adalah hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani, Rasulullah SAW bersabda, "Insya Allah, pada tahun mendatang kita akan berpuasa yang dimulai dari hari kesembilan Muharram (Tasu'a)."
Namun, sebelum bulan Muharram tahun depan tiba Rasulullah SAW telah wafat, sehingga menurut para ulama, hikmah disunahkannya puasa Tasu'a dengan Asyura adalah untuk membedakan puasa kaum Muslimin dan Kaum Yahudi.
Rabu, 21 November 2012
Mulai Tahun Anggaran 2013 proses penyelesaian DIPA beralih dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) ke Ditjen Anggaran (DJA). Peralihan ini merupakan instruksi Menteri Keuangan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Kementerian Negara/Lembaga (K/L). Sebelumnya, sejak tahun 2005, persetujuan pengajuan Rencana Kerja Anggaran RKA-K/L dilayani oleh DJA dan penyelesaian DIPA-nya dilaksanakan oleh DJPB. Pemisahan pelayanan ini sebagai konsekuensi dari reorganisasi di lingkungan Kementerian Keuangan terkait dengan pemisahan fungsi perencanaan anggaran dan fungsi pelaksanaan anggaran. Kini, para Pengguna Anggaran (PA) cukup dilayani oleh DJA mulai dari pengajuan RKA-K/L hingga pengesahan DIPA-nya.
Kebijakan pengalihan kewenangan pengesahan DIPA dari DJPB ke DJA bertujuan untuk menyederhanakan proses pengurusan RKA-KL dan DIPA sehingga memudahkan stakeholders dalam pengurusan dokumen anggarannya. Dengan adanya integrasi RKA-K/L dan DIPA satu atap (di DJA) diharapkan akan tercipta efisiensi biaya/waktu, percepatan waktu layanan yang selanjutnya akan terjadi peningkatan kualitas pelayanan.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) TA 2013 terdiri atas :
1. DIPA Induk
DIPA Induk merupakan akumulasi dari DIPA milik satuan kerja (satker) yang disusun oleh PA menurut Unit Eselon I Kementerian Negara/Lembaga. Dalam hal Unit Eselon I mengelola lebih dari satu Program, maka DIPA Induk yang disusun memuat seluruh Program yang menjadi tanggungjawabnya.
Nantinya DIPA Induk akan ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal/Sestama/Sekretaris/Pejabat eselon I sebagai penanggungjawab Program dan memiliki alokasi anggaran (portofolio). Di DIPA Induk inilah nantinya Dirjen Anggaran membubuhkan tanda tangan sebagai tanda pengesahan atas dokumen DIPA. Pengesahan DIPA Induk sekaligus merupakan pengesahan DIPA Petikan.
DIPA Induk terdiri dari 4 (empat) bagian :
1. Lembar Surat Pengesahan DIPA Induk (SP DIPA) Induk;
2. Halaman I : Informasi Kinerja dan Anggaran Program;
3. Halaman II : Rincian Alokasi Anggaran per Satker;
4. Halaman III : Rencana Penarikan Dana dan Perkiraan Penerimaan.
2. DIPA Petikan.
DIPA Petikan merupakan DIPA per Satker yang dicetak secara otomatis melalui sistem. Dalam hal Satker mengelola lebih dari satu Program dan berasal dari satu unit Eselon I, maka DIPA Petikan yang disusun memuat seluruh Program yang menjadi tanggungjawabnya.
DIPA Petikan digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan Satker dan pencairan dana/pengesahan bagi Bendahara Umum Negara/Kuasa BUN yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari DIPA Induk. DIPA Petikan diperuntukkan bagi Satker tidak diperlukan tanda tangan basah. Namun keabsahan DIPA Petikan tetap dapat terjamin karena melalui otomatisasi sistem, nantinya pada setiap DIPA Petikan akan diberikan digital stamp.
DIPA Petikan terdiri dari 5 (lima) bagian :
1. Lembar Surat Pengesahan DIPA Petikan (SP DIPA Petikan);
2. Halaman I : Informasi Kinerja dan Sumber Dana;
3. Halaman II : Rincian Pengeluaran;
4. Halaman III : Rencana Penarikan Dana dan Perkiraan Penerimaan;
5. Halaman IV : Catatan.
Jumat, 16 November 2012
Saya mengucapkan Selamat Tahun Baru Hijriah 1 Muharram 1434 H, semoga di tahun ini lebih baik daripada tahun - tahun sebelumnya dan semoga kita mendapatkan berkah dan ridha Allah swt.
Kalender Hijriyah merupakan kalender orang islam, pada saat ini entah mengapa banyak sekali atau hampir semua warga muslim di tanah air menghiraukan atau tidak mau kenal dengan kalender islam ini. Malah dalam kehidupan sehari-hari lebih mengenal kalender masehi!! Coba saja ditanya seseorang tanggal berapa hari ini dalam kalender islam? Pasti kebanyakan tidak tahu, karena hanya membiasakan diri mengenal kalender masehi.
Bagaimana Sejarah Penentuan Kalender Hijriyah? Berikut cerita singkatnya :
Pada tahun 682 Masehi, 'Umar bin Al Khattab yang saat itu menjadi khalifah melihat sebuah masalah. Negeri islam yang semakin besar wilayah kekuasaannya menimbulkan berbagai persoalan administrasi. Surat menyurat antar gubernur atau penguasa daerah dengan pusat ternyata belum rapi karena tidak adanya acuan penanggalan. Masing-masing daerah menandai urusan muamalah mereka dengan sistem kalender lokal yang seringkali berbeda antara satu tempat dengan laiinnya.
Maka, Khalifah 'Umar memanggil para sahabat dan dewan penasehat untuk menentukan satu sistem penanggalan yang akan diberlakukan secara menyeluruh di semua wilayah kekuasaan islam.
Sistem penanggalan yang dipakai sudah memiliki tuntunan jelas di dalam Al Qur'an, yaitu sistem kalender bulan (qomariyah). Nama-nama bulan yang dipakai adalah nama-nama bulan yang memang berlaku di kalangan kaum Quraisy di masa kenabian. Namun ketetapan Allah menghapus adanya praktek interkalasi (Nasi'). Praktek Nasi' memungkinkan kaum Quraisy menambahkan bulan ke-13 atau lebih tepatnya memperpanjang satu bulan tertentu selama 2 bulan pada setiap sekitar 3 tahun agar bulan-bulan qomariyah tersebut selaras dengan perputaran musim atau matahari. Karena itu pula, arti nama-nama bulan di dalam kalender qomariyah tersebut beberapa di antaranya menunjukkan kondisi musim. Misalnya, Rabi'ul Awwal artinya musim semi yang pertama. Ramadhan artinya musim panas.
Praktek Nasi' ini juga dilakukan atau disalahgunakan oleh kaum Quraisy agar memperoleh keuntungan dengan datangnya jamaah haji pada musim yang sama di tiap tahun di mana mereka bisa mengambil keuntungan perniagaan yang lebih besar. Praktek ini juga berdampak pada ketidakjelasan masa bulan-bulan Haram.
Pada tahun ke-10 setelah hijrah, Allah menurunkan ayat yang melarang praktek Nasi' ini:
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..." [At Taubah (9): 38]
"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah... " [At Taubah (9): 39]
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..." [At Taubah (9): 38]
"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah... " [At Taubah (9): 39]
Dalam satu tahun ada 12 bulan dan mereka adalah:
Muharram
Shafar
Rabi'ul Awal
Rabi'ul Akhir
Jumadil Awal
Jumadil Akhir
Rajab
Sya'ban
Ramadhan
Syawal
Dzulqa'idah
Dzulhijjah
Muharram
Shafar
Rabi'ul Awal
Rabi'ul Akhir
Jumadil Awal
Jumadil Akhir
Rajab
Sya'ban
Ramadhan
Syawal
Dzulqa'idah
Dzulhijjah
Sedangkan 4 bulan Haram, di mana peperangan atau pertumpahan darah di larang, adalah: Dzulqa'idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Peristiwa Hijrah sebagai tonggak Kalender Islam
Masalah selanjutnya adalah menentukan awal penghitungan kalender islam ini. Apakah akan memakai tahun kelahiran Nabi Muhammad saw., seperti orang Nasrani? Apakah saat kematian beliau? Ataukah saat Nabi diangkat menjadi Rasul atau turunnya Al Qur'an? Ataukah saat kemenangan kaum muslimin dalam peperangan?
Ternyata pilihan majelis Khalifah 'Umar tersebut adalah tahun di mana terjadi peristiwa Hijrah. Karena itulah, kalender islam ini biasa dikenal juga sebagai kalender hijriyah. Kalender tersebut dimulai pada 1 Muharram tahun peristiwa Hijrah atau bertepatan dengan 16 Juli 662 M.
Langganan:
Postingan (Atom)